image dari :mading-ganesha.blogspot.com
KB pria atau yang dikenal dengan VASEKTOMI belakangan ini mulai mengemuka kembali tentang boleh atau tidaknya dalam syariat Islam.Pada tahun 2012 kemarin MUI sebenarnya sudah memberi lampu hijau.Akan tetapi untuk lebih jelasnya kita bahas dalam keteranagan yang diambil dari leteratur klasik berikut ini :
Perubahan fatwa sebuah keharusan
Dalam kitab “‘i’lamu al-muwaqqi’in
‘an rabbi al-alamin” dan juga kitab-kitab al-qawa’id al-fiqhiyah lainnya, dinyatakan
bahwa fatwa hukum bisa berubah dan berbeda
mengikuti perubahan zaman, tempat, situasi, motifasi dan budaya yang
mengitarinya. Menurut Ibnu al-Qayyim, pengetahuan terhadap masalah ini merupakan hal
yang sangat penting dan berguna. Sebab, dengan tidak memahami persoalan ini banyak menimbulkan
kesalahan besar atas nama syari’ah yang mengantarkan pada kepicikan, kesulitan
dalam menjalankan agama dan juga membebani ummat suatu keputusan hukum yang
tidak dimampuinya. Ibnu al-Qayyim mengatakan:
فَصْلٌ
فِي تَغْيِيرِ الْفَتْوَى ، وَاخْتِلَافِهَا بِحَسَبِ تَغَيُّرِ الْأَزْمِنَةِ
وَالْأَمْكِنَةِ وَالْأَحْوَالِ وَالنِّيَّاتِ وَالْعَوَائِدِ الشَّرِيعَةُ
مَبْنِيَّةٌ عَلَى مَصَالِحِ الْعِبَادِ هَذَا فَصْلٌ عَظِيمُ النَّفْعِ جِدًّا
وَقَعَ بِسَبَبِ الْجَهْلِ بِهِ غَلَطٌ عَظِيمٌ عَلَى الشَّرِيعَةِ أَوْجَبَ مِنْ
الْحَرَجِ وَالْمَشَقَّةِ وَتَكْلِيفِ مَا لَا سَبِيلَ إلَيْهِ مَا يُعْلَمُ أَنَّ
الشَّرِيعَةَ الْبَاهِرَةَ الَّتِي فِي أَعْلَى رُتَبِ الْمَصَالِحِ لَا تَأْتِي
بِهِ ؛ فَإِنَّ الشَّرِيعَةَ مَبْنَاهَا وَأَسَاسُهَا عَلَى الْحِكَمِ وَمَصَالِحِ
الْعِبَادِ فِي الْمَعَاشِ وَالْمَعَادِ ، وَهِيَ عَدْلٌ كُلُّهَا ، وَرَحْمَةٌ
كُلُّهَا ، وَمَصَالِحُ كُلُّهَا ، وَحِكْمَةٌ كُلُّهَا ؛ فَكُلُّ مَسْأَلَةٍ
خَرَجَتْ عَنْ الْعَدْلِ إلَى الْجَوْرِ ، وَعَنْ الرَّحْمَةِ إلَى ضِدِّهَا ،
وَعَنْ الْمَصْلَحَةِ إلَى الْمَفْسَدَةِ ، وَعَنْ الْحِكْمَةِ إلَى الْبَعْثِ ؛
فَلَيْسَتْ مِنْ الشَّرِيعَةِ وَإِنْ أُدْخِلَتْ فِيهَا بِالتَّأْوِيلِ) إعلام الموقعين عن رب العالمين –
(ج 3 / ص 149)
Dalam teks ini juga ditandaskan bahwa
sayari’ah dibangun dan berbasis kebijaksanaan dan kemaslahatan bagi umat
manusia baik di dunia saat ini maupun di akhirat nanti. Kes
elurahan syari’ah
adalah keadilan, kasih sayang, kemaslahatan dan kebijaksanaan itu sendiri.
Ketentuan hukum syari’ah yang melahirkan sebaliknya sesungguhnya bukanlah
syari’ah sekalipun ada upaya dari pihak-pihak tertentu untuk memasukkan
didalamnya melalui proses ta’wil.
Dalam surat yang ditulis oleh Khalifah
Umar kepada Abu Musa Al-Asy’ari dikatakan:
كَتَبَ
عُمَرُ إلَى أَبِي مُوسَى " أَمَّا بَعْدُ ، فَإِنَّ الْقَضَاءَ فَرِيضَةٌ
مُحْكَمَةٌ ، وَسُنَّةٌ مُتَّبَعَةٌ ، فَافْهَمْ إذَا أَدْلَى إلَيْك ؛ فَإِنَّهُ
لَا يَنْفَعُ تَكَلُّمٌ بِحَقٍّ لَا نَفَاذَ لَهُ ، آسِ النَّاسَ فِي مَجْلِسِك
وَفِي وَجْهِك وَقَضَائِك ، حَتَّى لَا يَطْمَعَ شَرِيفٌ فِي حَيْفِك ، وَلَا
يَيْأَسَ ضَعِيفٌ مِنْ عَدْلِك ، الْبَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِي ، وَالْيَمِينُ
عَلَى مَنْ أَنْكَرَ ، وَالصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ ، إلَّا صُلْحًا
أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلَالًا ، وَمَنْ ادَّعَى حَقًّا غَائِبًا أَوْ
بَيِّنَةً فَاضْرِبْ لَهُ أَمَدًا يَنْتَهِي إلَيْهِ ، فَإِنْ بَيَّنَهُ
أَعْطَيْتَهُ بِحَقِّهِ ، وَإِنْ أَعْجَزَهُ ذَلِكَ اسْتَحْلَلْت عَلَيْهِ
الْقَضِيَّةَ ، فَإِنَّ ذَلِكَ هُوَ أَبْلَغُ فِي الْعُذْرِ وَأَجْلَى لِلْعَمَاءِ
، وَلَا يَمْنَعَنَّكَ قَضَاءٌ قَضَيْت فِيهِ الْيَوْمَ فَرَاجَعْت فِيهِ رَأْيَك
فَهُدِيت فِيهِ لِرُشْدِك أَنْ تُرَاجِعَ فِيهِ الْحَقَّ ، فَإِنَّ الْحَقَّ
قَدِيمٌ لَا يُبْطِلُهُ شَيْءٌ ، وَمُرَاجَعَةُ الْحَقِّ خَيْرٌ مِنْ التَّمَادِي
فِي الْبَاطِلِ ،.....،
وَالسَّلَامُ عَلَيْك وَرَحْمَةُ اللَّهِ " إعلام الموقعين عن رب
العالمين - (ج 1 / ص 110)
Dalam beberapa al-qawa’id al-ushuliyah dan al-qawa’id
al-fiqhiyah juga dinyatakan bahwa fatwa hukum bisa berubah akibat perubahan [1]
alasan hukum (‘illat), [2] zaman, [3] tempat, [3] kondisi, dan [4] tradisi.
B. Bagaimana dengan fatwa vasektomi dan tubektomi?
Sampai saat ini Nahdhatu ulama, membahas masalah vasektomi dan tubektomi hanya sekali, yaitu dalam
muktamar Nahdlatul Ulama ke-28 di pondok pesantren Al-Munawwir Krapyak pada
tanggal 25-28 Nopember 1989. Dalam muktamar ini diputuskan bahwa “penjarangan
kelahiran melalui cara apapun tidak dapat diperkenankan, kalau mencapai batas
mematikan fungsi berketurunan secara mutlak. Karenanya, sterilisasi yang
diperkenankan hanyalah yang bersifat dapat dipulihkan kembali kemampuan
berketurunan dan tidak samapai merusak atau menghilangkan bagian tubuh yang
berfungsi”.
Dalam keputusan ini terdapat beberapa
kata kunci yang menentukan status hukum vasektomi dan tubektomi, yaitu [1] penjarangan
kelahiran, [2] mematikan fungsi berketurunan secara mutlak, [3] dapat
dipulihkan kembali kemampuan berketurunan, [4] tidak merusak atau menghilangkan
bagian tubuh yang berfungsi.
Kata-kata “penjarangan kelahiran” dan
“dapat mematikan mematikan fungsi berketurunan
secara mutlak” menandaskan bahwa penjarangan yang dilakukan dengan
mematikan fungsi berketuran tidak lagi bisa disebut penjarangan melainkan “menghentikan
kemampuan melahirkan” dengan mematikannya. Menghentikan kemampuan melahirkan
secara mutlak dengan mematikannya, seluruh ulama sepakat mengharamkannya,
kecuali dalam keadaan dharurat dengan tetap memperhatikan “irtikabu akhaffi
ad-dhararaini”. Dengan demikian penjarangan yang dilakukan dengan tidak
“mematikan fungsi berketuruan secara mutlak” dalam arti dapat dipulihkan
kembali, “karena” tidak merusak atau menghilangkan bagian alat reproduksi yang
masih berfungsi, hukumnya boleh.
Keputusan fatwa ini didasarkan pada
kitab-kitab syafi’iyyah, seperti Hasyiyah Al-Bajuri Ala Fath Al-Qarib, Nihayatu
Al-Muhtaj, Hasyiyah Syibramallisi, dan lain-lain, yang secara umum
membedakan antara “[1] al-ladzi yubthi’u al-habla atau Ma yamna’u al-habla
fi waktin duna waktin” dan [2] al-ladzi yaqtha’u min ashlihi atau Ma
yamna’u bi al-kulliyah”. Teks kitab syafi’yyah yang lain membedakan antara
[1] Ma yamna’u al-hamli bi al-kulliyah dan [2] Ma yamna’u al-hamli
mu’aqqatan”. Dalam wacana kekinian, yang pertama disebut dengan “tandhimu
an-nasl” yang dibolehkan sedangkan yang kedua disebut “tahdidu an-nasl” yang
dilarang. Sedang dalam wacana yang lebih baru, yang pertama disebut “tandhimu
an-nasl”, sedangankan yang kedua disebut dengan “at-ta’qim” atau “al-i’qam”.
Namun dalam kitab Fiqih As-Sunnah Sayyid
Sabiq berpendapat tahdidu an-nasl dibolehkan dalam kondisi-kondisi tertentu, ia
mengatakan:
فيباح
التحديد في حالة ما إذا كان الرجل معيلا ( كثير العيال) لايستطيع القيام على تربية
أبنائه التربية الصحيحة.وكذلك إذا كانت المرأة ضعيفة، أو كانت موصولة الحمل، أو
كان الرجل فقيرا. ) فقه السنة – (ج 2 / ص 193)
“Maka dibolehkan pembatasan
kehamilan dalam kondisi dimana suami memiliki banyak keluarga sehingga tidak
mampu memberikan pendidikan yang baik terhadap anak-anaknya,demikian pula jika
istrinya lemah (untuk hamil kembali), atau hamil terus menerus atau kondisi
ekonomi suami yang faqir.”
Akan tetapi sesungguhnya
tidak ada perbedaan antara fiqih sunnah dan kitab-kitab syafi’iyyah,
sebab yang dimaksud Sayyid Sabiq adalah tahdid yang mematikan kemampuan
untuk berketurunan sebagaimana juga yang dimaksud kitab syafi’ah. dengan demikian
tandim atau tahdid yang tidak mematikan kemampuan berketuruan atau potensi bereproduksi
(quwwatu al-injab) adalah boleh terlebih-lebih jika ada hajah.
MUI sendiri telah membahas vasektomi beberapa kali, yaitu [1] dalam sidang komisi MUI tanggal
13 juni 1979 di Jakarta, [2] ijtima’ ulama
komisi fatwa MUI se Indonesia ke III tahun 2009 di Padang Panjang, dan [3] ijtima’ ulama komisi fatwa MUI se Indonesia ke
IV tahun 20012 di Cipasung Tasikmalaya,
29-2 juli 2012.
Dalam sidang komisi MUI 1979
diputuskan bahwa vasektomi hukumnya haram, dengan alasan [1]
vasektomi adalah pemandulan yang dilarang agama, [2] vasektomi atau tubektomi
adalah salah satu usaha pemandulan, dan [3] di Indonesia belum dapat dibuktikan
bahwa vasektomi dapat disambung kembali. Atas tiga alasan ini MUI memutuskan
vasektomi haram.
Dalam ijtima’ ulama komisi
fatwa MUI se Indonesia ke III di padang panjang kembali diputuskan
bahwa vasektomi adalah haram dengan alasan [1] vasektomi dilakukan dengan
memotong saluran seperma sehingga mengakibatkan kemandulan tetap, [2] upaya
rekanalisasi tidak menjamin pulihnya tingkat kesuburan kembali. Jika dalam
keputusan pertama alasan MUI “bahwa di Indonesia vasektomi belum dapat
disambung kembali, maka dalam keputusan kedua alasan MUI berubah menjadi “upaya
rekalnalisasi tidak menjamin pulihnya tingkat kesuburan”. Disini MUI meyadari
bahwa ilmu pengetahuan saat ini dapat dengan mudah membuktikan bahwa
peyambungan kembali dapat dilakukan. Hanya saja MUI masih meragukan apakah
pasca rekanalisasi ilmu kedokteran juga dapat membuktikan bahwa tingkat
kesuburan juga dapat dikembalikan seperti sebelum rekanalisasi?. MUI masih
meragukan itu, oleh karena itu MUI dalam pertemuan kedua masih mengharamkannya.
Suatu hal yang menarik dari
keputusan MUI ini adalah bahwa MUI telah meyertakan kaidah-kaidah ushuliyah dan
fiqhiyah yang tidak menolak kemungkinan perubahan hukum akibat perubahan [1]
alasan hukum (‘illat), [2] zaman, [3] tempat, [3] kondisi, dan [4] tradisi.
Disamping itu MUI juga meyertakan fakta-fakta medis sekitar masalah vasektomi.
Artinya jika suatu saat unsur-unsur pengubah hukum itu menghendakinya dan
fakta-fakta medis mendukung kearah itu, maka MUI sesungguhnya siap untuk
mengubah fatwa-fatwanya.
Fatwa vasektomi sedikit
mengalami perubahan dalam ijtima’ ulama komisi fatwa MUI se Indonesia ke IV
tahun 20012 di Cipasung Tasikmalaya, 29-2 juli 2012. Dalam ijtima’ ulama yang
ke IV ini diputuskan bahwa fasektomi tidak haram secara mutlak dan tidk halal
secara mutlak. Ijtima’ memutuskan bahwa vasektomi hukumnya haram kecuali...
keputusan ini berdasarkan alasan [1] bahwa vasektomi masih di anggap
mengakibatkan kemandulan tetap. [2] pemotongan terhadap saluran spermatozoa
merupakan taghyiru khalqillah. [3] upaya rekanalisasi tidak menjamin pulihnya
tingkat kesuburan.
Melihat alasan yang
digunakan MUI dalam fatwanya yang ketiga ini sesungguhnya sama dengan alasan
ketika menetapkan fatwanya yang kedua, kecuali alasan yang kedua. Namun
demikian alasan yang digunakan MUI berbeda dengan dasar penetapan hukum no 12
dan 13 yang digunakan oleh MUI sendiri, yaitu “berdasarkan surat kementrian
kesehatan nomer TU.05.02/V/1016/2012 yang menyatakan bahwa berdasarkan kajian
yang dilakukan oleh Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI) bahwa pasca
tindakan vasektomi dapat dilakukan recanalisasi
(peyambungan kembali saluran spermatozoa) dimana tindakan rekanalisasi tersebut
pada saat ini telah terbukti berhasil mengembalikan fungsi saluran spermatozoa
serta memulihkan kesuburan seperti sebelum dilakukan vasektomi. Hasil tindakan
rekanalisasi ini dapat dipertanggung jawabkan baik secara medis maupun
profesional”. Sedangkan dalam poitn 13 diyatakan “penjelasan perhimpunan dokter
spesialis urologi Indonesia, vasektomi adalah tindakan memptong dan mengikat
saluran spermatozoa dengan tujuan menghentikan aliran spermatozoa, sehingga air
mani tidak mengandung spermatozoa pada saat ejakulasi tampa mengurangi volume air
mani. Dalam penetapan dasar hukum yang lain dinyatakan bahwa “menjadi peserta
KB vasektomi tidak ada ruginya, karena vasektomi merupakan metode yang sangat
efektif untuk mencegah kehamilan, aman, murah, tidak mengganggu fungsi seksual,
tidak menimbulkan gangguan ereksi dan tidak mengurangi
libido”.
Jika melihat dasar penetapan yang diajukan MUI,
sebagaimana point 12, 13 dan 15, seharusnya MUI mengubah fatwanya karena alasan
yang menjadi alasan fatwa keharaman vasektomi telah berubah. Dalam ijtima’ MUI
ke IV di cipasung memang sempat terjadi perdebatan agak serius antara yang
menghalalkan vasektomi dan yang mengharamkannya. Namun kemudian sidang komisi
memutuskan “tafsil”, artinya “boleh dengan syarat” dan “haram kecuali”. Hukum
tafsil ini menjadi penting untuk tidak menutup perubahan hukum
serapat-rapatnya, dan sekaligus tidak melepaskannya tampa syarat-syarat yang
mengendalikannya. Sebab pelaku vasektomi bisa saja meyalahgunakan fatwa halal
jika tidak disertai syarat-syarat yang ketat.
C. Dari tahkriju al-manath menuju tahqiqu al-manath
Keputusan hukum haramnya MOP dalam ijtima’ pertama dan kedua
dan “haram kecuali” dalam ijtima’ ketiga didasarkan atas argumen-argumen
teologis baik dari al-Qur’an, hadist maupun pandangan-pandangan ulama.
Dalil-dalil al-Qur’an yang digunakan adalah ayat-ayat al-qur’an yang
menjelaskan tentang keharaman membunuh anak-anak yang telah dilahirkannya (QS.
Al-An’am: 137) akibat kemiskinan yang
dideritanya(QS. Al-An’am: 151) atau takut akan
bayang-bayang kemiskinan (QS. Al-Isra: 31), juga ayat yang menjelaskan tentang
keharaman pemandulan (QS. Al-Syura, :50) dan ayat yang menegaskan keharaman
tagyir khalqillahi. Sedang hadist nabi yang digunakan adalah hadist yang
mengaskan tentang keharaman “mengubur hidup-hidup anak-anak perempuan”, taqyiru
khalqillahi, dan pengkebiran (al-khisha’). Sedangkan pendapat ulama’ yang
digunakan adalah pendapat yang mengharamkan “qhat’u al-hamli min aslihi”, i’qam
atau ta’qim, tahdidu an-nasl dan isti’shalu al-qudrah ala al-injab.
Semua ulama sepakat bahwa membunuh anak-anak yang telah
dilahirkannya dengan alasan apapun adalah haram. Ulama juga sepakat bahwa
pemandulan, tagyiru khalqillahi, mengubur hidup-hidup anak perempuan,
pengkebiran, mematikan potensi reproduksi adalah haram. Inilah yang dimaksud
ijtihad tahkriju al-manath. Pertayaannya adalah “apakah medis oprasi pria
atau vasektomi merupakan bagian dari pembunuhan, pemandulan, pengkebiran, dan
mengubah ciptaan Allah?” pertayaan ini mengantarkan pada apa yang disebut
dengan ijtihad tahqiqu al-manath. Ijtihad tahqiqu al-manath meniscayakan
tashawwur (diskripsi) yang sempurna tentang fakta atau fenomena yang akan
dihukumi, dalam hal ini vasektomi atau MOP.
Vasektomi adalah femonema medis kekinian yang cukup rumit
yang hanya dimengerti dengan baik oleh pihak-pihak yang ahli dalam bidangnya.
Jikapun diketahui oleh pihak-pihak diluar ahlinya maka pastilah atas dasar
informasi dari ahlinya. Dalam konteks vasektomi pihak yang paling ahli dalam
bidang ini adalah ahli urologi.
Ikatan Ahli Urologi Indonesia (Indonesian urological
association) telah melakukan kajian tentang vasektomi dan rekalnalisasi di Bogor,
8-9 Juni 2012. Menurut data yang ada pertemuan itu dihadiri (sebagai
kontributor) oleh sekitar 17 ahli urologi Indonesia, antara lain dr. Chaidir A.
Mochtar, PhD, SpU (ketua Ikatan Ahli Urologi Indonesia), Prof. DR. Dr. Akmal Taher,
PhD, SpU (K), DR. Dr. Nur Rasyid, SpU, dr. Ponco Birowo, PhD, SpU (ketiganya
dari departemen Urologi FKUI,RSUPN dr. Ciptomangunkusumo, jakarta), Prof.
DR. Doddy M. Soebadi, SpB, SpU (K), (departemen urologi FK Unair-RSU dr. Soetomo Surabaya), Prof. DR. Dr. Suwandi Sugandi, SpB, SpU
(K) (departemen urologi, FK Unpad-RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung) dan
lain-lain.
Pertemuan IAUI (ikatan ahli urologi Indonesia)-BKKBN
mengasilkan kesimpulan sbb:
“Pada pasien dengan riwayat
vasektomi, dapat dilakukan operasi untuk mengembalikan patensi saluran
reproduksinya melalu teknik vaso-vasosotomi atau vaso-epididimostomi. Terdapat
teknik anastomosis dalam vaso-vasosotomi maupun vaso-epididimostomi yang dapat
dilakukan, tergantung pada kondisi pasien dan kemampuan operator. Prinsip utama
tindakan rekanalisasi vasektomi adalah menghilangkan obstruksi yang terjadi
sebelumnya dan menciptakan anastomosis antar lumen saluran reproduksi yang
kedap air dan bebas tarikan (free-tension). Tindakan rekanalisasi paling
optimal dilaksanakan dengan teknik bedah mikro menggunakan bantuan loupe atau
lebih baik lagi dengan mikroskop operasi. Secara umum, tindakan rekanalisasi
vasektomi merupakan tindakan yang aman dilakukan dengan koplikasi yang minimal
dan sebagian besar pasien tidak perlu dirawat pasca oprasi. Untuk pasien dengan
vasektomi, rekanalisasivasektomi memberikan hasil yang lebih baik dalam angka
patensi dan angka kehamilan dibandingkan sperm retrieval dengan IVF/ICSI. Sperm
retrieval denga IVF/ICSI merupakan alternatif bagi bagi pasien yang tidak cocok
untuk dilakukan rekanalisasi vasektomi atau pada pasien yang tidak berhasil
dengan teknik rekanalisasi vasektomi dan tetap menginginkan untuk memperoleh
keturunan”
Dalam keputusan Ikatan Ahli Urologi Indonesia tidak
menyatakan bahwa vasektomi merupakan upaya pemandulan, pengkebiran apalagi
pembunuhan terhadap anak-anak yang akan dilahirkan. Sedangkan dalam hal
“tagyiru khalqillahi” ulama masih berbeda pendapat mengenai “khalqillah” yang
dimaksud dalam ayat ini. Sebagian ulama mengatakan “ciptaan Allah” dan sebagian
ulama yang lain mengatakan “Agama Allah”. Disamping masih belum dapat
dipastikan apakah vasektomi merupakan pengubahan terhadap ciptaan Allah. Sebab
vasektomi merupakan penemuan ilmiah (Ilmu Allah, sunnatullah) dalam bidang
kedokteran. Sebab jika vasektomi dan rekanalisasi melenceng dari Ilmu Allah dan
sunnatullah pastilah akan merusak dan mengkacaukan sistem kehidupan.
Kalaupun, misalnya tetap dihukumi “haram kecuali”, apakah
tidak ada al-mubihat (adh-dharurah atau al-hajah) yang mengubah status hukum
asal itu, seperti problem kependudukan dan kemampuan negara dalam
mensejahterakan rakyatnya? Jika problem kependudukan menurut ahlinya berpotensi
menimbulkan masalah besar dalam kehidupan sosial-ekonomi di Indonesia, tidak cukupkah
itu sebagai al-mubihat untuk mengubah hukum ashal vasektomi, berdasar “adh-dharuratu
tubihu al-mahdhurat, qad tunzalu al-hajah manzilata adh-dharurah dan
irtikabu akhaffi ad-dhararaini”?
Ijtihad tahqīqu al-manāth ini pernah dicontohkan secara gamblang
oleh khalifah umar ra saat ia tidak memberikan zakat pada mu’allafah qulubuhum,
tidak membagikan harta ghanimah kepada para ghanimin dan tidak memberikan
hukuman potong tangan terhadap pencuri disaat paceklik. Keputusan umar tentu
saja tidak dimaksudkan untuh mengubah hukum-hukum itu, akan tetapi Khalifah
Umar melihat bahwa hukuman itu tidak relefan diterapkan karena konteks yang
sedang dihadapi umar berbeda dengan konteks ayat yang menjelaskan hukum-hukum
itu.
D. Tujuan permanent tidak dapat mempermanentkan
sesuatu yang tidak permanent
Fatwa keharaman vasektomi antara lain didasarkan pada alasan
bahwa vasektomi dimaksudkan sebagai upaya pencegahan kehamilan secara
permanent, dimana suami istri tidak beringinan lagi untuk memiliki anak.
Pertayaannya, dapatkah niat permanent
ini mempermanentkan vasektomi yang tidak permanent dengan alasan bahwa
vasektomi saat ini dapat dilakukan rekanalisasi? Dalam kaidah fiqhiyah dikatakan “al-‘ibrah fi
al-uqud bi maa fi nafsi al-amri, wa fi al-ibadah bi maa fi nafsi al-amri wa bi
maa fi dhanni al-mukallafi”, artinya “dalam akad mu’amalah sesuatu yang menjadi
pijakan adalah hakikat sesuatu (substansi), sedang dalam ibadah yang menjadi
pijakan adalah substansi dan niat atau dugaan mukallaf”. Dalam selain ibadah,
niat atau dugaan seseorang tidak mempengarui atau mengubah status hukum, sebab
substansilah yang menjadi pijakannya. Vasektomi jelas bukan wilayah ibadah,
sehingga niat atau tujuan permanent tidak dapat mengubah vasektomi yang
hakikatnya permanen.Semoga bermanfaat. Tulisan ini pindahan dari kulineonline.blogspot.com,Pemiliknya sama dengan pemilik blog ini.